Oleh : Muhammad Maulana Kusumawardhana, SH
Peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) PERADI- Lembaga Pendidikan Hukum Indonesia (LPHI) Palembang
Peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) PERADI- Lembaga Pendidikan Hukum Indonesia (LPHI) Palembang
Berkali-kali terjadi dan selalu
sering terdengar di media masa akan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan
seolah-olah selalu mewarnai kasus-kasus criminal yang terjadi di Negeri ini,
hal ini menyatakan lemahnya penegakan hukum perlindungan hukum terhadap
perempuan dari segi lingkup diluar rumah tangga dan perempuan yang bukan di
kategorikan anak-anak. Payung hukum perlindungan terhadap perempuan memang
sudah ada tapi dalam cakupan arti anak-anak dan keluarga, seperti UU No. 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Pengapusan KDRT, dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, selain itu semuanya diatur dalam KUHP
dianataranya dalam pasal 285, 286, dan 287 dalam perbuatan kejahatan seksual.
Padahal telah adanya Undang-undang dasar 1945 dan Undang-Undang No. 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW) harus membuka pandangan luas pemerintah untuk
mengembangkan payung hukum demi melindungi kekerasan yang terjadi terhadap
perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan berikut
yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini diantaranya ; Kisah
penjambretan yang menyebabkan Fransisca Yofie pada gustus 2013 lalu, serta kisah
pilu dialami Ibu H, penjual kopi di Pintu Tol Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Jumat
13 September 2014, wanita berusia 46 tahun itu disekap dan disiksa oleh
sejumlah preman. Penyiksaan itu dilakukan karena H menolak membayar "jatah
preman" dari usaha penjualan kopinya dan mengalami kekerasan seksual yang sangat
parah, Kemudian kasus yang baru ini yang
menyebabkan tewasnya Deudeuh Alfisahrin alias Tata Chubby yang dihabis nyawanya
oleh teman kencannya, dan baru-baru ini terjadi lagi yang dikenal istilah
“tewasnya gadis angkringan” maya yang merupakan mahasiswi
Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Sastra Inggris ini berada dalam posisi
tergeletak di atas tempat tidur dengan kondisi setengah telanjang.[1]
Wanita
ditakdirkan sebagai sosok yang lembut dan gemulai menjadikan sebagai objek
kekerasan yang dilakukan para pelaku, dalam kenyataan ini harus ada peran kuat
dan peran kritis pemerintah dalam menyikapi kasus yang terjadi. Dalam catatan tahunan yang dirilis oleh Komisi Nasional Perempuan,
tahun 2013 lalu ditemukan fakta bahwa jumlah KDRT yang dialami oleh perempuan
di Indonesia mencapai angka 8.626 kasus pada tahun lalu. dengan angka tersebut,
maka rumah tangga menjadi ranah terbesar penyumbang munculnya 293.220 kasus
kekerasan terhadap perempuan 2014 lalu dalam ruang lingkup rumah tangga dan
lainnya.[2]
Sungguh dalam cengkraman kejahatan yang sangat kritis belum lagi kekerasan
dalam rumah tangga yang tidak dilaporkan karena malu mengingat dalam lingkup
ruang keluarga dan dangat pribadi.
Kita
sudah memiliki komnas anti kekerasan terhadap perempuan berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 181 Tahun 1998, yang harus lebih berperan aktif lagi dalam
mengusul regulasi-regulasi aturan hukum kepada pemerintah yang lebih kuat memayungi
perlindungan terhadap perempuan. Seperti yang diutarakan Komisioner Komnas
Perempuan Yunianti
Chuzaifah pada pertemuan dengan presiden Jokowi
yang menyatakan temuan-temuan
Komnas Perempuan, di mana temuan kekerasan perempuan ada 35 perempuan korban
kekerasan tiap harinya, sehingga perlu didukung adanya inisiatif kebijakan,
terutama UU perlindungan kekerasan seksual, UU untuk perlindungan pekerja rumah
tangga, revisi UU Migran dan sejumlah UU lain, termasuk UU Kesetaraan Gender,
Komnas Perempuan juga memiliki data 15 jenis kekerasan seksual terhadap
perempuan yang perlu dipayungi. Namun, di Indonesia baru memiliki tiga jenis. [3]
Semoga Pemerintah mendengarkan dan
melihat apa yang terjadi belakangan ini terhadap perempuan dan lebih
mengedepankan asas perlindungan yang lebih kepada perempuan, karena perempuan
adalah inspirasi kuat untuk kemajuan bangsa dan sebagai wanita yang melahirkan
dan mendidik anak-anaknya, pemerintah harus melahirkan solusi yang jelas bukan
malah memangkas atau mengurangi anggaran yang ditujukan untuk perlindungan
terhadap perempuan. Jayalah Kartini-kartini Indonesia, Merdeka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar