Kapan Korupsi Hilang?
Oleh : Muhammad
Maulana Ksw
(Mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Palembang, Fakultas Hukum)
Dimana
setiap hari dan setiap waktu dimedia masa kita selalu mendengar dan melihat
kasus korupsi, tak hanya yang lagi
diproses para tersangkanya tetapi ada juga yang baru terduga. Tak dapat kita
pahami apa yang membuat prilaku para koruptor itu melakukan korupsi padahal
dengan gaji yang cukup besar mereka dibayar oleh negara melalui uang rakyat
lewat pajak. Tapi apa rasa tak puas selalu ada dalam nafsunya, keserakahan yang
ujungnya akan membawa kepada kesengsaraan. Beruntung mereka yang tertangkap,
mereka bisa tobat tapi bagi yang
tindakannya maling uang negara tidak ketahuan oleh petugas dengan tambah
serakah mereka menggerogoti uang negara tanpa peduli dan tanpa memikirkan hak
rakyat. Berdasarkan
tulisan dari Amien Rahayu, seorang analis Sejarah LIPI dalam “Jejak Sejarah
Korupsi Indonesia”, bahwa mulai jaman-jaman kerajaan, budaya korupsi
dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit dan
Mataram adalah karena perilaku korup dari sebagian besar bangsawannya. Sejarah
sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-budaya korupsi” yang
tiada henti karena disorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Mungkin
kita pernah mendengar bahwa strategi jitu Belanda atau VOC untuk menguasai
Nusantara adalah dengan politik pecah belah atau disebut juga politik devide et
impera. Tapi jika diteliti lebih dalam lagi persoalan atau penyebab utama
mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun adalah karena perilaku
elit bangsawan yang korup, leih suka memperkaya diri sendiri dan keluarganya,
kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character
building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi. Terlebih lagi sebagian besar
penduduk di nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah
termakan isu, dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Penjajah asing memahami betul akar
“buadaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik
“devide et impera” mereka dengan mudah menaklukkan nusantara. Bahkan dalam buku
yang berjudul History of Java karya Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal
Inggris yang memerintah pulau Jawa 1811-1816, terbit pertama tahun 1816
mendapat sambutan yang luar biasa baik di kalangan bangsawan, pribumi, maupun
bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan berbagai aspek budaya jawa.
Hal menarik dalam buku tersebut adalah pembahasan seputar karakter penduduk
jawa. Penduduk jawa digambarkan sangat pasrah dengan keadaan. Namun, di pihak
lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai orang lain, tidak terus terang,
suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil suatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak
mengetahui.
Hal menarik lainnya adalah adanya
bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem
tersebut lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi
dalem suka mencari atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan,
raja lebih suka disanjung, dihormati, diharga dan tidak suka menerima kritik
dan saran. Kritik dan saran yang disampaikan di muka umum lebih dipandang
sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu,
budaya kekuasaan di Nusantara(khususnya Jawa) cenderung otoriter. Dalam aspek
ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di
masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus
menuruti apa kata, kemauan atau kehendak penguasa. Budaya yang sangat tertutup
dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan budaya korupsi di Nusantara. Tidak
jarang abdi dalem juga melakukan korup dalam mengambil upeti atau pajak dari
rakyat yang akan diserahkan kepada demang atau lurah, selanjutnya oleh demang
tersebut akan diserahkan kepada tumenggung. Abdi dalem setingkat kabupaten atau
provinsi juga mengorup harta yang akan diserahkan kepada raja atau sultan.
Sekarang kita memandang korupsi
diera yang modern ini dimana prilaku para penjabat yang bermewah-mewahan, tak
hanya penjabatnya anak dan istrinya juga dibuat mewah. Mewah itu boleh saja tapi
hasil pekerjaan yang dihasilkan mewah juga. Banyak hal yang kita lihat
ditelevisi atau kita baca disurat kabar dari kades sampai menterinya terlibat
korupsi, korupsi sudah menggurita, ibaratnya Indonesia adalah lumbung padi yang
sudah dipenuhi oleh tikus yang membawa kehancuran bagi negara ini. Apakah
idonesia akan mengalami kehancuran seperti kerajaan-kerjaan terdahulu karena
faktor korupsi, kekuasaan? Mungkin saja bisa begitu andai saja korupsi selalu
mengahantui baik ditiap proyek dan kebijakan pemerintah. Korupsi memang
nampaknya sudah membudaya, jika yang tua korupsi ditangkap, dan dihukum, maka
akan timbul yang muda yang berprestasi dalam bidang korupsi.
Mulai dari pegawai negeri,
pemimpin daerah, politikus dan menteri ada saja oknumnya yang terlibat korupsi,
padahal mereka sudah digaji, digaji dari uang rakyat tapi apa rasa tak
bersyukur dan hilangnya jiwa nasionalisme membuat berpikir untuk menyenangkan
dirinya serta rela mengorbankan negara ini. Banyaknya rakyat miskin,
pengangguran, membuat kstabilitasan ini tak berjalan normal karena adanya
tikus-tikus yang berdasi yang menggerogoti negara ini pelan-pelan menju
kehancuran yang abadi. Seharusnya para koruptor berpikir tujuannya itu apa
dalam memposisikan jabatannya, ingin jadi perampok?. Mungkin banyaknya korupsi
dinegeri ini dipengaruhi oleh pribadi hidup yang kurang puas dan tidak memiliki
rasa untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, praktek suap yang
terjadi, seperti kalau mau bekerja jadi pegawai negeri harus bayar sekian ratus
juta, mereka yang melakukan praktek itu lalu lulus jadi pegawai kemudian dalam
melakukan jabatan dalam pekerjaannya tentunya ingin mengembalikan modal yang
digunakan untuk menyuap tadi, parahnya juga korupsi terjadi diKepolisian dalah
satu jenderalnya juga yang terlibat dalam suatu kasus simulator SIM, bayangkan
mau dibawa kemana negara kita ini dimuka internasional dan kita juga tercataT
sebagai negara terkorup nomor 100 dididunia, memang sungguh sangat miris
mendengar hal ini.
Banyak kalangan yang gemas
dengan semakin meng”gurita”nya korupsi, mulai dari masyarakat bisa saat melihat
koruptifnya birokrasi dalam mengurus hal-hal administrasi kecil bahkan sampai
pakar dan pelaku yang selalu menekankan pada pengembalian tujuan bernegara yang
bermartabat. Kwik Kian Gie menyatakan bahwa virus KKN sudah merasuk ke dalam
otak dan emosi koruptor sehingga mereka menderita penyakit jiwa yang dinamakan
make believe. Koruptor berfantasi dan lambat laun percaya bahwa fantasinya
adalah nyata. Mereka berfantasi bahwa mereka dibolehkan oleh Tuhan untuk
ber-KKN asalkan tetap ke tempat ibadah dan semakin fanatik, semakin boleh
melakukan apa saja.
Menyikapi parahnya
koruptor dan perilaku koruptif di negeri yang beragama ini menimbulkan
keprihatinan organisasi massa muslim seperti NU dan Muhammadiyah. Bahkan,
keseriusan untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi dituangkan dalam
buku-buku resmi misalnya NU menerbitkan “NU melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan
Fiqh”. Buku ini secara khusus berupaya untuk memberikan kerangka dasar yang
bisa dijadikan renungan dan sandaran untuk melakukan pemberantasan korupsi
melalui jalur pendekatan ajaran agama Islam. Tidak hanya itu, kemudian
dimunculkan fatwa haram korupsi dan mendesak keras melalui gerakan advokasi
untuk segera mneyelesaikan kasus mega korupsi BLBI.
Melihat kenyataan di atas
maka ada baiknya kita ingat kembali analisi dari Jeremy Pope, yakni terdapat
keyakinan bahwa dalam sebuah sistem dimana korupsi telah menjadi endemik,
mekanisme penegakan hukum yang konvesional justru akan menutupi pejabat-pejabat
yang korup. Badan-badan konvensional yang bertindak menegakkan hukum menjadi
semakin tidak mampu untuk mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang
kompleks. Jika Lord Acton pernah berkata, “Kekuasaan
itu cenderung korup,” maka seorang teman juga ada yang berkata, “Manusia itu
cenderung untuk berkuasa.” Dan kita juga bisa berkata, “Setiap manusia
cenderung korup dan otoriter.” Jika terpaksa memakai paradigma kekuasaan
sebagai dasar untuk meretas jalan masuk ‘melumpuhkan’ gurita, maka kita juga
harus konsisten dengan sistem kekuasaan di negeri ini, bahwa dalam negara
demokrasi, setiap jiwa dari rakyat punya potensi untuk berkuasa. Regenerasi
kepemimpinan sudah menjadi keniscayaan.
Sekarang
Hambalang mengambang, Wisma Atlet macet, Century tersembunyi. Ketiganya menjadi
potret terkini bagaimana hal itu sangat sulit dipecahkan. Mungkin korupsi akan
hilang jika didunia tak ada lagi manusia yang tak bermoral dan tidak mamiliki
rasa cinta bangsa, solusi untuk korupsi adalah dengan menegakkan hukum yang
tegas tidak memandang bulu, siapakah itu harus dibasmi, hukum mati hukum yang
pas untuk para koruptor didepan rakyat yang terampas haknya, mungkin hal ini
akan menghentikan korupsi.