Senin, 05 Agustus 2013

Kapan Korupsi Hilang?





Kapan Korupsi Hilang?
Oleh : Muhammad Maulana Ksw
(Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palembang, Fakultas Hukum)

        Dimana setiap hari dan setiap waktu dimedia masa kita selalu mendengar dan melihat kasus  korupsi, tak hanya yang lagi diproses para tersangkanya tetapi ada juga yang baru terduga. Tak dapat kita pahami apa yang membuat prilaku para koruptor itu melakukan korupsi padahal dengan gaji yang cukup besar mereka dibayar oleh negara melalui uang rakyat lewat pajak. Tapi apa rasa tak puas selalu ada dalam nafsunya, keserakahan yang ujungnya akan membawa kepada kesengsaraan. Beruntung mereka yang tertangkap, mereka bisa tobat tapi  bagi yang tindakannya maling uang negara tidak ketahuan oleh petugas dengan tambah serakah mereka menggerogoti uang negara tanpa peduli dan tanpa memikirkan hak rakyat. Berdasarkan tulisan dari Amien Rahayu, seorang analis Sejarah LIPI dalam “Jejak Sejarah Korupsi Indonesia”, bahwa mulai jaman-jaman kerajaan, budaya korupsi dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit dan Mataram adalah karena perilaku korup dari sebagian besar bangsawannya. Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-budaya korupsi” yang tiada henti karena disorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Mungkin kita pernah mendengar bahwa strategi jitu Belanda atau VOC untuk menguasai Nusantara adalah dengan politik pecah belah atau disebut juga politik devide et impera. Tapi jika diteliti lebih dalam lagi persoalan atau penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia selama  kurang lebih 350 tahun adalah karena perilaku elit bangsawan yang korup, leih suka memperkaya diri sendiri dan keluarganya, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi. Terlebih lagi sebagian besar penduduk di nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu, dan yang lebih parah mudah diadu domba.
        Penjajah asing memahami betul akar “buadaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “devide et impera” mereka dengan mudah menaklukkan nusantara. Bahkan dalam buku yang berjudul History of Java karya Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah pulau Jawa 1811-1816, terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang luar biasa baik di kalangan bangsawan, pribumi, maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan berbagai aspek budaya jawa. Hal menarik dalam buku tersebut adalah pembahasan seputar karakter penduduk jawa. Penduduk jawa digambarkan sangat pasrah dengan keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai orang lain, tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil suatu keuntungan  atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
       Hal menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak  (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem tersebut lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem suka mencari atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihormati, diharga dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disampaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu, budaya kekuasaan di Nusantara(khususnya Jawa) cenderung otoriter. Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak penguasa. Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan budaya korupsi di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korup dalam mengambil upeti atau pajak dari rakyat yang akan diserahkan kepada demang atau lurah, selanjutnya oleh demang tersebut akan diserahkan kepada tumenggung. Abdi dalem setingkat kabupaten atau provinsi juga mengorup harta yang akan diserahkan kepada raja atau sultan.
      Sekarang kita memandang korupsi diera yang modern ini dimana prilaku para penjabat yang bermewah-mewahan, tak hanya penjabatnya anak dan istrinya juga dibuat mewah. Mewah itu boleh saja tapi hasil pekerjaan yang dihasilkan mewah juga. Banyak hal yang kita lihat ditelevisi atau kita baca disurat kabar dari kades sampai menterinya terlibat korupsi, korupsi sudah menggurita, ibaratnya Indonesia adalah lumbung padi yang sudah dipenuhi oleh tikus yang membawa kehancuran bagi negara ini. Apakah idonesia akan mengalami kehancuran seperti kerajaan-kerjaan terdahulu karena faktor korupsi, kekuasaan? Mungkin saja bisa begitu andai saja korupsi selalu mengahantui baik ditiap proyek dan kebijakan pemerintah. Korupsi memang nampaknya sudah membudaya, jika yang tua korupsi ditangkap, dan dihukum, maka akan timbul yang muda yang berprestasi dalam bidang korupsi.
       Mulai dari pegawai negeri, pemimpin daerah, politikus dan menteri ada saja oknumnya yang terlibat korupsi, padahal mereka sudah digaji, digaji dari uang rakyat tapi apa rasa tak bersyukur dan hilangnya jiwa nasionalisme membuat berpikir untuk menyenangkan dirinya serta rela mengorbankan negara ini. Banyaknya rakyat miskin, pengangguran, membuat kstabilitasan ini tak berjalan normal karena adanya tikus-tikus yang berdasi yang menggerogoti negara ini pelan-pelan menju kehancuran yang abadi. Seharusnya para koruptor berpikir tujuannya itu apa dalam memposisikan jabatannya, ingin jadi perampok?. Mungkin banyaknya korupsi dinegeri ini dipengaruhi oleh pribadi hidup yang kurang puas dan tidak memiliki rasa untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, praktek suap yang terjadi, seperti kalau mau bekerja jadi pegawai negeri harus bayar sekian ratus juta, mereka yang melakukan praktek itu lalu lulus jadi pegawai kemudian dalam melakukan jabatan dalam pekerjaannya tentunya ingin mengembalikan modal yang digunakan untuk menyuap tadi, parahnya juga korupsi terjadi diKepolisian dalah satu jenderalnya juga yang terlibat dalam suatu kasus simulator SIM, bayangkan mau dibawa kemana negara kita ini dimuka internasional dan kita juga tercataT sebagai negara terkorup nomor 100 dididunia, memang sungguh sangat miris mendengar hal ini.
            Banyak kalangan yang gemas dengan semakin meng”gurita”nya korupsi, mulai dari masyarakat bisa saat melihat koruptifnya birokrasi dalam mengurus hal-hal administrasi kecil bahkan sampai pakar dan pelaku yang selalu menekankan pada pengembalian tujuan bernegara yang bermartabat. Kwik Kian Gie menyatakan bahwa virus KKN sudah merasuk ke dalam otak dan emosi koruptor sehingga mereka menderita penyakit jiwa yang dinamakan make believe. Koruptor berfantasi dan lambat laun percaya bahwa fantasinya adalah nyata. Mereka berfantasi bahwa mereka dibolehkan oleh Tuhan untuk ber-KKN asalkan tetap ke tempat ibadah dan semakin fanatik, semakin boleh melakukan apa saja.
            Menyikapi parahnya koruptor dan perilaku koruptif di negeri yang beragama ini menimbulkan keprihatinan organisasi massa muslim seperti NU dan Muhammadiyah. Bahkan, keseriusan untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi dituangkan dalam buku-buku resmi misalnya NU menerbitkan “NU melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqh”. Buku ini secara khusus berupaya untuk memberikan kerangka dasar yang bisa dijadikan renungan dan sandaran untuk melakukan pemberantasan korupsi melalui jalur pendekatan ajaran agama Islam. Tidak hanya itu, kemudian dimunculkan fatwa haram korupsi dan mendesak keras melalui gerakan advokasi untuk segera mneyelesaikan kasus mega korupsi BLBI.
            Melihat kenyataan di atas maka ada baiknya kita ingat kembali analisi dari Jeremy Pope, yakni terdapat keyakinan bahwa dalam sebuah sistem dimana korupsi telah menjadi endemik, mekanisme penegakan hukum yang konvesional justru akan menutupi pejabat-pejabat yang korup. Badan-badan konvensional yang bertindak menegakkan hukum menjadi semakin tidak mampu untuk mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang kompleks. Jika Lord Acton pernah berkata, “Kekuasaan itu cenderung korup,” maka seorang teman juga ada yang berkata, “Manusia itu cenderung untuk berkuasa.” Dan kita juga bisa berkata, “Setiap manusia cenderung korup dan otoriter.” Jika terpaksa memakai paradigma kekuasaan sebagai dasar untuk meretas jalan masuk ‘melumpuhkan’ gurita, maka kita juga harus konsisten dengan sistem kekuasaan di negeri ini, bahwa dalam negara demokrasi, setiap jiwa dari rakyat punya potensi untuk berkuasa. Regenerasi kepemimpinan sudah menjadi keniscayaan.
       Sekarang Hambalang mengambang, Wisma Atlet macet, Century tersembunyi. Ketiganya menjadi potret terkini bagaimana hal itu sangat sulit dipecahkan. Mungkin korupsi akan hilang jika didunia tak ada lagi manusia yang tak bermoral dan tidak mamiliki rasa cinta bangsa, solusi untuk korupsi adalah dengan menegakkan hukum yang tegas tidak memandang bulu, siapakah itu harus dibasmi, hukum mati hukum yang pas untuk para koruptor didepan rakyat yang terampas haknya, mungkin hal ini akan menghentikan korupsi.