Senin, 05 Agustus 2013

Cerpen: Curhat Para Narapidana



Curhat Para Narapidana
Karya : M. Maulana Ksw

Pekat hitam menghantui
Sisi kelam menghampiri
Tak dapatku lepas
Selalu beriring dalam hidup
Coba ku tarik jala kebahagiaan
Yang aku dapat kan hanyalah ikan yang busuk
Tak sempatku meraihnya
Namun sirna dalam sekejap
Tak sempat ku membahagiakannya
Tak ada lagi dirinya
Kelam,gelap,gemerlap, aku tersandar dibalik jeruji....

        Duduk termenung seorang narapidana dengan kepala tertunduk sambil memegang pensil dan buku tulis kecilnya, ya puisi diatas adalah karyanya, terlihat betapa jelasnya penyesalan yang terjadi tapi hal itu sudah terjadi mau diulang dari awal mungkin bisa tapi Cuma dalam mimpi. Narapidana itulah Udin dia dulu adalah seorang mahasiswa, otaknya lumayan cukup pintar dalam seni. Udin berasal dari desa yang kemudian merantau kekota untuk kuliah, ayah Udin telah lama meninggal sejak dia SMP, dia anak tunggal dan Udin dibesakan oleh Ibunya, Ibu Udin sosok yang tegar, dan rajin Ibu Udin tiap pagi berjualan kue keliling demi membesarkan Udin dan tiap hasil penjualannya ditabung untuk masa depan Udin kelak. Udin kecil adalah anak yang baik, penurut dan jadi kebanggan Ibunya dikampung, Udin tak pernah menuntut banyak hal dari Ibunya dia cukup mengerti keadaan Ibunya, teman-teman dikampungnya juga sangat menyukai Udin, dia juga anak yang rajin yang kerap membantu Ibunya, walaupun kelas XII SMA dan walau akan ujian Udin tetap membantu ibunya dia membagi waktu antara belajar dan menolong ibu.
         Sambil meneteskan air matanya Udin mengingat masa-masa dia dikampung bersama Ibunya dalam penjara yang sesak dan penuh noda-noda kotor.
        Terbuyar lamunannya ketika punggung Udin ditepuk disapa teman satu penjaranya Gito namanya.
“Kenapa kau Din, nampak begitu sedih?” sambil memandang Udin.
“Tidak da apa-apa Git.” Sambil tersenyum.
“ahh sudah lah cerita saja kalau kau ada masalah ?” ucap Gito sambil memandang jeruji besi didepannya.
         Gito adalah teman baik udin dalam penjara, Gito jugalah yang menolong Udin ketika dia dikeroyok oleh orang-orang yang ada dipenjara ketika Udin baru masuk jeruji besi itu. Gito masuk kesitu membunuh seorang preman karena dendam. Umur mereka sebaya.
         Setelah didesak begitu Udin akhirnya bertanya kepada Gito.
“Apakah kau menyesal berada disini?”
Sambil menarik nafas gito menjawab.
“Menyesal itu pasti ada, tapi inilah takdir dan kenyataan kita tidak bisa harus selalu menuntut sekarang kita jalani apa yang terjadi sekarang.”
“Apa kau tidak merindukan ibumu git?”
 “Aku dari sejak kecil sudah ditinggalkan ibu dan Ayahku, Ibuku meninggal karena melahirkanku, dan Ayah ketika umurku 5 tahun Aku dapati tewas didepan rumah dan waktu itu tak Aku ketahui siapa yang menikamnya, dan Aku kemudian dibesarkan oleh Nenekku, dan Aku bangga karena Aku telah menunaikan dendam atas ayahku, menancapkan belati dendam kejantung preman itu.”
“Bagaimana kau tahu kalau preman itu yang membunuh Ayahmu?” Tanya udin penasaran.
“Aku tahu, dan aku bertanya pada banyak orang yang yang mengingat kejadian 17 tahun silam itu.”
 “Apakah dendam dibalas dendam akan membuat masalah itu selesai?” Tanya Udin santai sambil tersenyum kecil.
“Ya, tentu tidak, ya itulah aku menyesal.”
         Tak mau kalah dengan Udin, Gito juga tak ingin meluangkan kesempatan ini lalu dia bertanya kepada Udin.
“Kenapa kau bisa ada disini? aku harap kau tidak perlu untuk menutupinya.” Sambil tersenyum Gito bertanya.
        Dengan raut muka kesal, sedih, dan bercampur Udin menjawabnya.
“Gara-gara barang haram itu akau terjatuh disini, awalnya aku dikirim ibu ke kota ini untuk kuliah, tapi sungguh aku telah mengecewakan beliau.”
 “Kenapa juga kau bisa tersentuh barang itu, apakah kau tidak mengingat Ibumu ketika akan menyentuh narkoba itu?”
“Karena pergaulan teman-teman dikampus, sungguh aku tak tahu apa itu aku dicekoki setan-setan itu, setelah itu aku tak ingat lagi Ibu ku.” Dengan penuh penyesalan Udin menjawab.
“Apakah Ibumu tahu kau dipenjara?”
“Tahu.”
“kenapa beliau tidak pernah menjengukmu?”
“Ibu sudah pergi, pergi disaat mengetahui berita ini dan aku dipenjara, Ibuku gagal jantung.” Tambah deras air mata Udin menetes.
         Gito hanya bengong sebentar, lalu berkata dan menghibur Udin.
“Sudahlah kawan, sabar. Ini adalah cobaaNya dan suatu pelajaran hidup kita sebagai manusia tentunya yang akan kedepan kita lebih baik lagi.” Sambil memegang pundak Udin, Gito berkata.
“Terimakasih kawan.” Jawab Udin sambil menghapus air matanya.
Lalu Gito melihat buku kecil ditangan udin dan mengambil lalu membacanya.“Puisi yang sangat bagus ini, kau berbakat .”
         Udin hanya tersenyum. Dia memang jago dalam hal seni, karena dia adalah mantan mahasiswa seni yang berbakat, tapi gara-gara pergaulan dan narkoba dia gagal menjadikan impiannya sebagai seorang guru seni.
          Tak selang berapa lama mereka mengobrol datanglah petugas, karena waktunya makan siang para narapidana.