Curhat Para Narapidana
Karya : M. Maulana Ksw
Karya : M. Maulana Ksw
Pekat hitam menghantui
Sisi kelam menghampiri
Tak dapatku lepas
Selalu beriring dalam hidup
Coba ku tarik jala kebahagiaan
Yang aku dapat kan hanyalah ikan yang
busuk
Tak sempatku meraihnya
Namun sirna dalam sekejap
Tak sempat ku membahagiakannya
Tak ada lagi dirinya
Kelam,gelap,gemerlap, aku tersandar
dibalik jeruji....
Duduk termenung seorang narapidana
dengan kepala tertunduk sambil memegang pensil dan buku tulis kecilnya, ya
puisi diatas adalah karyanya, terlihat betapa jelasnya penyesalan yang terjadi
tapi hal itu sudah terjadi mau diulang dari awal mungkin bisa tapi Cuma dalam
mimpi. Narapidana itulah Udin dia dulu adalah seorang mahasiswa, otaknya
lumayan cukup pintar dalam seni. Udin berasal dari desa yang kemudian merantau
kekota untuk kuliah, ayah Udin telah lama meninggal sejak dia SMP, dia anak tunggal
dan Udin dibesakan oleh Ibunya, Ibu Udin sosok yang tegar, dan rajin Ibu Udin
tiap pagi berjualan kue keliling demi membesarkan Udin dan tiap hasil penjualannya
ditabung untuk masa depan Udin kelak. Udin kecil adalah anak yang baik, penurut
dan jadi kebanggan Ibunya dikampung, Udin tak pernah menuntut banyak hal dari Ibunya
dia cukup mengerti keadaan Ibunya, teman-teman dikampungnya juga sangat
menyukai Udin, dia juga anak yang rajin yang kerap membantu Ibunya, walaupun kelas
XII SMA dan walau akan ujian Udin tetap membantu ibunya dia membagi waktu
antara belajar dan menolong ibu.
Sambil meneteskan air matanya Udin
mengingat masa-masa dia dikampung bersama Ibunya dalam penjara yang sesak dan
penuh noda-noda kotor.
Terbuyar lamunannya ketika punggung Udin
ditepuk disapa teman satu penjaranya Gito namanya.
“Kenapa
kau Din, nampak begitu sedih?” sambil memandang Udin.
“Tidak
da apa-apa Git.” Sambil tersenyum.
“ahh
sudah lah cerita saja kalau kau ada masalah ?” ucap Gito sambil memandang
jeruji besi didepannya.
Gito adalah teman baik udin dalam
penjara, Gito jugalah yang menolong Udin ketika dia dikeroyok oleh orang-orang
yang ada dipenjara ketika Udin baru masuk jeruji besi itu. Gito masuk kesitu
membunuh seorang preman karena dendam. Umur mereka sebaya.
Setelah
didesak begitu Udin akhirnya bertanya kepada Gito.
“Apakah
kau menyesal berada disini?”
Sambil
menarik nafas gito menjawab.
“Menyesal
itu pasti ada, tapi inilah takdir dan kenyataan kita tidak bisa harus selalu
menuntut sekarang kita jalani apa yang terjadi sekarang.”
“Apa
kau tidak merindukan ibumu git?”
“Aku dari sejak kecil sudah ditinggalkan ibu
dan Ayahku, Ibuku meninggal karena melahirkanku, dan Ayah ketika umurku 5 tahun
Aku dapati tewas didepan rumah dan waktu itu tak Aku ketahui siapa yang
menikamnya, dan Aku kemudian dibesarkan oleh Nenekku, dan Aku bangga karena Aku
telah menunaikan dendam atas ayahku, menancapkan belati dendam kejantung preman
itu.”
“Bagaimana
kau tahu kalau preman itu yang membunuh Ayahmu?” Tanya udin penasaran.
“Aku
tahu, dan aku bertanya pada banyak orang yang yang mengingat kejadian 17 tahun
silam itu.”
“Apakah dendam dibalas dendam akan membuat
masalah itu selesai?” Tanya Udin santai sambil tersenyum kecil.
“Ya,
tentu tidak, ya itulah aku menyesal.”
Tak mau kalah dengan Udin, Gito juga
tak ingin meluangkan kesempatan ini lalu dia bertanya kepada Udin.
“Kenapa
kau bisa ada disini? aku harap kau tidak perlu untuk menutupinya.” Sambil
tersenyum Gito bertanya.
Dengan raut muka kesal, sedih, dan
bercampur Udin menjawabnya.
“Gara-gara
barang haram itu akau terjatuh disini, awalnya aku dikirim ibu ke kota ini
untuk kuliah, tapi sungguh aku telah mengecewakan beliau.”
“Kenapa juga kau bisa tersentuh barang itu,
apakah kau tidak mengingat Ibumu ketika akan menyentuh narkoba itu?”
“Karena
pergaulan teman-teman dikampus, sungguh aku tak tahu apa itu aku dicekoki
setan-setan itu, setelah itu aku tak ingat lagi Ibu ku.” Dengan penuh
penyesalan Udin menjawab.
“Apakah
Ibumu tahu kau dipenjara?”
“Tahu.”
“kenapa
beliau tidak pernah menjengukmu?”
“Ibu
sudah pergi, pergi disaat mengetahui berita ini dan aku dipenjara, Ibuku gagal
jantung.” Tambah deras air mata Udin menetes.
Gito hanya bengong sebentar, lalu
berkata dan menghibur Udin.
“Sudahlah
kawan, sabar. Ini adalah cobaaNya dan suatu pelajaran hidup kita sebagai
manusia tentunya yang akan kedepan kita lebih baik lagi.” Sambil memegang
pundak Udin, Gito berkata.
“Terimakasih
kawan.” Jawab Udin sambil menghapus air matanya.
Lalu
Gito melihat buku kecil ditangan udin dan mengambil lalu membacanya.“Puisi yang
sangat bagus ini, kau berbakat .”
Udin
hanya tersenyum. Dia memang jago dalam hal seni, karena dia adalah mantan
mahasiswa seni yang berbakat, tapi gara-gara pergaulan dan narkoba dia gagal
menjadikan impiannya sebagai seorang guru seni.
Tak selang berapa lama mereka mengobrol
datanglah petugas, karena waktunya makan siang para narapidana.