DI BIDANG PERPAJAKAN
Oleh Mokhamad Khoirul Huda, SH. MH1
Abstraksi
Pajak
merupakan sumber pemasukan terbesar dalam APBN dimana dari tahun ke
tahun perlu peningkatan, akan tetapi dalam kenyataannya terjadi
kebocoran-kebocoran yang dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak maupun pihak
ke-3 sehingga optimalisasi penerimaan tersebut tidak bisa tercapai. Untuk
menimbulkan unsur jera pada pelaku maka ketentuan pidana yang ada dalam
Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (UU No.16/2000 jo. UU
No.6/83), Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU
No.20/2000) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu diberlakukan
secara selektif. Dalam praktek ketentuan-ketentuan itu tidak digunakan secara
optimal oleh aparat penegak hukum, dimana Undang – Undang tentang Tindak
Pidana Korupsi lebih mendominasi sehingga ketentuan pidana dalam UU No 16/2000
tidak pernah dipakai. Berdasar azas lex specialist deregat legi generalis
maka ketentuan pidana dalam UU No. 16/2000 harus
diberlakukan.
Kata – kata kunci : pajak, tindak pidana, wajib pajakA. Pendahuluan
Dalam suatu
negara yang menganut sistem mekanisme pasar, termasuk mekanisme pasar
terkendali seperti Indonesia, pajak merupakan “ instrumen “ pemerintah yang
sangat vital dan strategis. Dengan uang pajak , pemerintah dapat melaksanakan
pembangunan, mengerakkan roda pemerintahan, mengatur perekonomian masyarakat
dan negara.
Dalam
kaitannya dengan pembangunan dan kesejahteraan, pajak memiliki fungsi-fungsi
yang dapat dipakai untuk menunjang tercapainya suatu masyarakat
yang adil dan makmur secara merata. Fungsi – fungsi tersebut adalah budgeter
/ finansial yang memberikan masukan uang sebanyak-banyaknya ke kas
negara dan fungsi regulerend / mengatur bahwa pajak sebagai alat
untuk mengatur masyarakat baik dalam bidang ekonomi maupun politik. ( Erly
Suandy, 2002 : 13 )
Adam Smith
dalam bukunya An Inquire The Nature and Cause of the Wealth of Nations
mengemukakan empat prinsip pokok yang harus di perhatikan dalam pemunggutan
pajak yaitu : keadilan (equity ), yuridis (certainty), ekonomis
dan efesiensi (convenience of payment ) bahwa
penggenaan pajak jangan sampai mematikan
atau
memberatkan dunia usaha justru makin memotivasi
berkembangnya ekonomi suatu Negara. (Hadi Irawan, 2003, 10)
Menurut
Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan Hadi Purnomo bahwa tingkat
kepatuhan pajak masyarakat meningkat pesat dalam tiga tahun terakhir ini, sebagai
tercermin dari peningkatan perolehan pajak. Pendapatan pajak meningkat dari Rp.
100 triliun tahun 2001 menjadi Rp.164 trilliun tahun 2002, dan tahun 2003
ditargetkan meningkat lagi menjadi Rp.210 triliun akan tetapi baru
terealisasi sebesar Rp. 204,153 triliun dengan perincian Pajak Penghasilan (
PPh ) Migas Rp. 18,78 triliun,PPN non Migas Rp.96,05 triliun, PBB Rp.
8,76 triliun,BPHTB Rp. 2,14 triliun dan pajak lainnya Rp.1,65 triliun.
Sedangkan secara terpisah Dirjen Pajak Hadi Poernomo memperkirakan
target penerimaan pajak pada APBN sebesar 232 triliun pada tahun 2004.
(Jawa Pos, 2004 : 7) Dari perolehan ini sektor perpajakan
menyumbang 75 % pendapatan negara. Untuk memenuhi target menjadi 81 %
penyumbang pendapatan negara sungguh merupakan pekerjaan yang bukan mudah.
Berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi demikian kompleks, mulai dari
masalah perekonomian nasional dan internasional, pelayanan birokrasi, hingga
masalah kepatuhan dan kesadaran wajib pajak.
Kebijakan
perpajakan di Indonesia memang mesti dilakukan dengan hati- hati karena
kebijakan itu berapapun kadarnya tetap menjadi “disinsentif“ bagi
perkembangan dunia usaha yang masih pincang sejak krisis ekonomi. Namun
Kebijakan perpajakan tentu saja sulit menggulirkan pembangunan terutama
penyediaan infrastruktur dan redistribusi pendapatan.
Apalagi
penerimaan negara dari sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci
keberhasilan pemerintah. Jika ditarik lebih lanjut, apapun sistem pajak yang
dilaksanakan maka ukuran keberhasilan akan berpulang pada jumlah setoran pajak
pada kas negara, entah dari voluntary compliance wajib pajak ataupun
dari tindakan aktif penagihan pajak.
Strategi
peningkatan penerimaan pajak yang diterapkan pemerintah selain penambahan
jumlah wajib pajak baik pribadi maupun badan, menyederhanakan sistem pajak
melalui paket UU perpajakan, reformasi perpajakan tahun 2005 yang
berkaitan dengan penurunan tarif tertinggi menjadi 30 %, peningkatan
penghasilan tidak kena pajak pada Peraturan Menteri Keuangan No.564 tahun 2004,
juga tidak melupakan program peningkatan pencairan tunggakan pajak antara lain
melalui perbaikan frekuensi dan mutu penagihan pajak.
Untuk masalah
kepatuhan wajib pajak maka Dirjen Pajak mulai mengoptimalkan seluruh
aparatnya untuk memaksa wajib pajak yang membandel dan tidak kooperatif
dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak .
Adapun
hambatan itu bisa berupa perlawanan pasif dan aktif yang dilakukan oleh
wajib pajak berbentuk badan hukum ( rechtpersoon,
legal persoon ) dan orang pribadi ( naturalijk persoon
) dalam rangka untuk melepaskan kewajibannya membayar pajak, akibat perbuatan
wajib pajak ini pemerintah dirugihkan miliaran rupiah. (Muqodim,1996 : 31-33 )
Nilai tunggakan 96 wajib pajak pada awal 2004 mencapai Rp.962,136 Miliar, namun
para penunggak pajak itu bersedia mencicil kewajibannya pada akhir tahun
2004.
Menurut Staf
Ahli Tenaga Pengkajian Bidang Pengawasan dan Penegakkan Hukum Dirjen
Pajak Djangkung Soerjawadi bahwa upaya yang telah dilakukan untuk memaksa
wajib pajak membayar pajak dengan diterapkanya paksa badan ( gijzeling )
terhadap wajib pajak yang tidak kooperatif contoh seorang importir
berinisial Jasman Liem dari PT. EI Jakarta yang mempunyai
tunggakan di Kantor Pelayanan Pajak Sawah Besar Jakarta
sebesar 11 miliar dan M. Greenswood seorang warga negara Inggris . ( Media
Indonesia , 14 Pebruari 2004 )
Terhadap
wajib pajak yang melakukan penghindaran diri dari kewajiban dengan cara
penyelundupan ( tax evasion ) terhadap perbuatan tidak menyetorkan
pajak yang telah dipotong atau dipungut atau tidak membayar bea masuk dengan
cara suatu peryataan yang tidak benar, atau memberikan data-data tidak benar (
vide keterangan palsu pada dokumen ) maka tindakan ini merupakan pelanggaran
undang – undang dalam bentuk tindak pidana.
Adapun sanksi
yang bisa dijatuhkan pada wajib pajak bisa berupa sanksi administrasi maupun
pidana sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang –Undang Hukum Pidana, Undang
– Undang No. 31 Tahun 2001 Jo.Undang – Undang No.31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang – Undang No.6
Tahun 1983 Jo. Undang – Undang No.10 Tahun 1997 Jo. Undang – Undang
No 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Upaya –
upaya yang dilakukan aparat pajak dengan terobosan – terobosan dengan
menerapkan berbagai kebijakan diharapkan dapat mengoptimalkan tingkat
pendapatan dari tahun ke tahun akan tetapi realisasi itu banyak menghadapi
kendala terutama berkaitan dengan tingkat kepatuhan dan kesadaran baik dari
wajib pajak maupun aparat sendiri, dimana masih terjadi kebocoran – kebocoran
dalam realisasi penerimaan pajak, untuk itu dapat dirumuskan permasalahan
yang perlu dikaji sebagai berikut :
- Bagaimana kebijakan hukum pidana positif dalam pengaturan tindak pidana di bidang perpajakan ?
- Bagaimana sanksi pidana dalam tindak pidana perpajakan ?
B. Kebijakan Hukum Pidana Positif dalam Pengaturan dan Penerapan sanksi Pidana pada Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
1. Kebijakan Hukum Pidana Positif Dalam Pengaturan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan
Hukum pajak
merupakan bagian Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Negara. Tetapi
beberapa sarjana menganggap bahwa hukum pajak merupakan ilmu yang berdiri
sendiri, berdampingan dan sejajar dengan disiplin ilmu yang lain ( Rochmat
Soemitro, 1992: 31 ) Dalam hukum pajak disamping ada sanksi
administrasi terdapat sanksi pidana yang dijatuhkan untuk
pelanggaran dan kejahatan. Hukum pidana seperti yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan yang terdapat
diluarnya, yaitu dalam ketentuan – ketentuan yang khusus ( lex specialist
) untuk mengadakan peraturan-peraturan dalam segala lapangan, merupakan
keseluruhan yang sistimatis, karena ketentuan-ketentuan dalam buku I dari KUHP
juga berlaku untuk peristiwa-peristiwa pidana ( peristiwa yang dapat dikenakan
hukuman = staafbar feit ) yang diuraikan diluar KUHP itu. ( vide pasal
103 KUHP).
Pengertian “strafbaar
feit “ terdapat banyak istilah seperti tindak pidana, perbuatan pidana,
peristiwa pidana atau delik “. Istilah tindak pidana merupakan pengertian baku
yang berarti “ perbuatan yang memenuhi perumusan yang diberikan dalam ketentuan
pidana, ketentuan pidana tidak semata-mata terdapat dalam KUHP melainkan juga
dalam Undang-Undang Pajak, Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang Imigrasi dan
lainnya. “
Prof. Dr Mr
J.Van der Poel ( Direktur Pajak Kerajaan Belanda dan Direktur merangkap Guru
Besar Akademi Pajak Rotterdam), dalam bukunya Rondom Composite en Crompomis
mengutarakan, bahwa hukum pidana pajak sebanyak mungkin harus sesuai dengan
hukum pidana umum. Sudah barang tentu tetap ada ketinggalan perbedaannya yang
khusus, karena hukum pajak sangat membutuhkannya dalam detail-detailnya. Lagi
pula, sekalipun dasar fikirannya sama, namun dalam sejarah teryata
pertumbuhannya agak menyimpang. Menurut pendapatnya, sebelum setengah abad yang
lalu, pelanggaran-pelanggaran pajak terlalu dianggap simplistis ( remeh) dan
terlalu formal, sedangkan teori dan filsafat yang terbaru mengenai hal itu
tidak lagi membedakan antara “ pencurian “ terhadap negara dan pencurian
terhadap individu. ( R.Santoso Brotodiharjo,1995: 24 )
Bahwa
peraturan – peraturan administrasi pun sangat memerlukan
sanksi –sanksinya yang menjamin ditaatinya oleh khalayak ramai. Juga dalam
peraturan – peraturan pajak terdapat sanksi – sanksi yang bersifat umum
dan khusus, antara lain dimuatlah dalam :
a. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( Generalis / umum
)1. Perbuatan Penyuapan, pasal 209 KUHP
2. Memberikan keterangan palsu di atas sumpah, pasal 242 KUHP
3. Pemalsuan Meterai, pasal 253 KUHP
4. Pemalsuan
Surat, pasal 263 KUHP
5. Membuka
Rahasia pasal 322 KUHP
6. Pemerasan
dan Pengancaman, pasal 368 KUHP
7. Penggelapan,
pasal 372 KUHP
8. Melakukan
tipu muslihat pasal 387 KUHP
9.
Melakukan akal tipu pada TNI dan keadaan khusus, pasal 388 KUHP
10.Kejahatan
Jabatan
- Pasal 415 KUHP
- Pasal 416 KUHP
- Pasal 417 KUHP
- Pasal 419 KUHP
- Pasal 241 KUHP
- Pasal 425 KUHP
b. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo.
UU No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Berdasar
pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 : “ setiap orang yang melanggar ketentuan
undang – undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap
ketentuan undang - undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi
berlaku ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini.Adapun pasal – pasal
yang berkaitan Tindak Pidana Perpajakan pada pasal
2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 dan 18.
Berdasar pasal 43 B UU No. 20
Tahun 2001 : “ pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, pasal 209 ,
pasal 210, pasal 378, pasal 378, pasal 388 , pasal 415, pasal 416, pasal
417, pasal 418, pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425, dan pasal 435
kitab Undang – Undang Hukum Pidana Jis. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang pengaturan hukum pidana (Berita Republik Indonesia II
Nomor 9 ), undang – undang nomor 73 tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya
undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang perataruan hukum pidana untuk seluruh
wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana ( LN 1958 No. 127 , TLN. No. 1660 ) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UU No. 27 Tahun 1999 tentang perubahan Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, dinyatakan
tidak berlaku. Pada UU ini yang berkaitan dengan tindak pidana
perpajakan diatur dalam pasal 5,6,7,8,9,10,11,12,12A,12B.
c. Undang – Undang Perpajakan (
Specialist / khusus )
Undang-Undang perpajakan kita
membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam dua
jenis yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan.
1) Tindak Pidana Pelanggaran
Pelanggaran sering dipadankan dengan kejahatan
yang ringan, ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran lebih ringan bila
disbanding denga pelaku kejahatan. Ancaman yang dapat dikenakan terhadap wajib
pajak yang melakukan pelanggaran kewajiban perpajakan adalah pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun atau denda sebesar dua kali jumlah pajak yang
terhutang. Dalam UU No. 16 Tahun 2000 perubahan kedua dari UU No. 6
Tahun 1983 dan UU No.9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan prinsip – prinsip ancaman pidana
pelanggaran ini pun dengan nyata – nyata dimuat dalam : Pasal 38 “ setiap
orang yang karena kealpaannya; tidak menyampaikan surat pemberitahuan;
atau menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau
tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar; sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara , dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan atau denda paling lama 2 ( dua
) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar .
2)Tindak Pidana Kejahatan
Jika
pelanggaran merupakan kejahatan ringan maka kejahatan dapat dipadankan sebagai
pelanggaran yang berat. Pelanggaran berat karena ancaman pidananya memang jauh
lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran. Ancaman pidana untuk palaku
kejahatan ini adalah pidana penjara selama-lamanya tiga tahun dan atau denda
setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak yang terhutang yang kurang
atau tidak dibayar, serta bagi pelaku pengulangan kejahatan ( residive) ancaman
pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat waktu satu tahun. Adapun
ketentuan tersebut ada dalam :
Pasal 39 tentang Tindak Pidana Kejahatan
( 1 ) Setiap orang yang dengan
sengaja : tidak mendaftarkan diri , atau menyalah gunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ; atau tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan; dan menyampaikan surat Pemberitahuan dan atau Keterangan yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau, menolak untuk dilakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ; dan memperlihatkan
pembukuan, pencatatan , atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar; atau tidak menyelenggarakan pembukuan, atau pencatatan
tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen
lainnya; atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipunggut
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
dipidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda
paling tinggi (empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
bayar.
( 2 ) Pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilipat 2 ( dua ) apabila seseorang
melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 ( satu )
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
( 3 ) Setiap orang yang
melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPK sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf (
a), atau menyampaikan SP dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huru ( c) dalam rangka
mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling tinggi
4 ( empat ) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi yang
dilakukan oleh Wajip Pajak.
Pasal 41 tentang Sanksi Bagi
Pejabat
Pejabat yang karena kealpaannya
tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimna dimaksud dalam pasal 34,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling
banyak Rp. 4.000.000,- ( empat juta rupiah); pejabat yang dengan sengaja
tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajiban pejabat sebgaimana dimaksud dalam pasal 34 , dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (
sepuluh juta rupiah ).
Pasal 41A tentang Sanksi Bagi Pihak ke
tiga.
Setiap orang yang menurut pasal
35 undang – undang ini wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi
dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi
keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000,- ( sepuluh
juta rupiah ).
Pasal 41B tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga.
Setiap orang yang dengan sengaja
menhalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling
banyak Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ).
Dari
semua ketentuan peraturan itu dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang diancam
dengan sanksi pidana adalah tindak pidana :
- yang dilakukan oleh wajib pajak
- yang dilakukan oleh pejabat pajak ( fiskus )
- yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang bukan wajib pajak dan bukan pejabat pajak.
Sedangakan untuk materi yang diancam dengan
sanksi pidana adalah :
- dengan sengaja memasukkan surat pemberitahuan yang tidak benar, atau memberikan data-data yang tidak benar , palsu atau dipalsukan.
- Memperlihatkan atau menyerahkan pembukuan atau dokumen yang tidak benar, palsu atau dipalsukan;
- tidak memberikan / menolak memberikan keterangan yang diperlukan oleh Kantor Inspeksi Pajak untuk menetapkan pajak;
- tidak memperlihatkan pembukuan, dokkumen, dan catatan lain kepada pejabat pajak
- tidak memberikan kesempatan kepada pejabat pajak untuk melakukan pemeriksaan setempat
- tidak menyampaikan surat pemberitahuan;
- tidaak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan NPWP / NPPKP tanpa hak; dan
- tidak menyetorkan pajak yang telah dipunggut.
2. Penerapan Sanksi Pidana
Pada Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Melihat
begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi negara maka undang – undang
tentang perpajakan beberapa kali mengalami perubahan untuk menyesuaikan
perkembangan dalam bidang perpajakan sehingga tindak pidana di bidang
perpajakan bisa di dikurangi / antisipasi . Aturan – aturan secara umum mengacu
pula pada aturan – aturan yang lebih umum baik pada Undang – Undang Hukum
Pidana maupun Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam
penjelasan pasal 38 UU No. 6 tahun 1983 Jo.UU No.9 tahun 1997 Jo. UU No.16
tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan disebutkan : Pelanggaran
terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang
menyangkut administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan
yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana.
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan
pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana “. Penjelasan pasal 38
di atas secara jelas mengatur tentang dasar hukum tindak pidana di bidang
perpajakan. Namun dalam praktek baik jaksa maupun hakim lebih cenderung
menerapkan ketentuan undang – undang tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan . Hal ini
diungkapkan oleh pakar hukum pidana Unair DR.Sarwarini,SH,MS ( 1999 : 9 )
: Keadaan ini terjadi , baik sebelum maupun sesudah diterapkannya undang –
undang perpajakan yang baru. Keadaan tersebut dapat ditolerir jika terjadi
sebelum diterapkannya undang undang perpajakan yang lama, tapi sesungguhnya , sangat
memalukan, jika dipakai sesudah penerapan undang – undang perpajakan
baru”.dimana menyalahi azas lex specialist derogat generali.
Dalam
menjerat pelaku tindak pidana perpajakan hakim dan jaksa cuma mengacu
pada pasal 14 UU No. 31 tahun 1999 : setiap orang yang melanggar
ketentuan undang – undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran
terhadap ketentuan undang - undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini. Pasal 43 B
UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi masih bersifat umum itu sehingga perlu di terapkan
peraturan – peraturan yang bersifat khusus yaitu UU No. 6 tahun 1983 Jo. UU No.
9 tahun 1997 Jo. UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara
Perpajakan .
Dalam proses persidangan tampak
bahwa, selain majelis hakim belum pernah menyidangkan kasus perpajakan , hakim
maupun jaksa kurang memahami segi teknis ketentuan formal dan materiil yang
berkaitan dengan system perpajakan yang baru, hal ini dapat kita lihat
dari kasus penggelapan pajak yang divonis penjara 26 tahun
karena menyelewengkan dana pajak PT Semen Tonasa . Kedua orang itu yakni
Iwan Zulkarnain ( 34 ) dihikum 16 tahun dengan hukuman denda Rp. 100 juta
subsider enam bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti kepada
negara Rp. 27 Milyar subsider dua tahun penjara dan Asriadi divonis 10 tahun
dengan denda Rp. 100 Juta subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang
pengganti kepada negara Rp. 13 milliar subsider satu tahun penjara oleh Majelis
Hakim PN Makassar, Selasa 28 Oktober 2003. Vonis tersebut lebih ringan dari
tuntutan tim Jaksa Penuntut ( JPU ) Muh.Zainal Arif,SH yang menuntut Iwan
Zulkarnaen dengan hukuman 20 tahun penjara, sedangkan Asriadi 15 tahun penjara.
Dalam amar
putusannya, majelis hakim menyebutkan bahwa terhukum Iwan Zulkarnain
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak
pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 13 Jo. Pasal 18 UU No.
31 tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat 1 Jo. Ke 1 jo. Pasal 64
ayat 1 KUHP . Terhukum melakukan pertemuan dengan terdakwa Asriadi – berkas
perkaranya terpisah- yang juga mantan pegawai Kantor Pajak Wilayah XV
Sulawesi Selatan. Sedangakn Asriadi terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 Jo. Pasal
18 UU No. 31 Tahun 1999 Jo.UU No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 pasal
64 ayat 1 KUHP tentang Tindak Pidana Korupsi.
Seharusnya
hakim dalam memvonis kasus di atas di samping mengacu pada Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana dan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juga menerapakan Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
khususnya pasal 39 ( 1 ) huruf g yang berbunyi : “ setiap orang
yang dengan sengaja : tidak menyetorkan pajak yang telah di punggut atau di
potong,sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 (
empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.”
Dari kasus
penggelapan pajak ini saja baik jaksa maupun hakim sama sekali tidak memasukkan
pasal-pasal yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang mengatur secara khusus kasus perpajakan ( specialist ).
Demikian pula
pada kasus perpajakan yang lain seperti restitusi pajak fiktif senilai 27
miliar di PN Bandung, oknum pegawai pajak yang terbukti memalsukan SSP senilai
15 juta di Menado dan pegawai pajak AR di Jayapura yang terbukti
memalsukan SSP PBB senilai 150 juta semua di hukum dengan Undang – Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus – kasus
di atas memperlihatkan begitu kurang memahaminya hakim dan jaksa
mengenai seluk beluk ketentuan formal dan materiil yang diatur dalam undang –
undang sistem perpajakan.
C. Kesimpulan
Pajak
merupakan pendapatan terpenting bagi negara , untuk itu aturan
perpajakan pun di atur begitu detailnya, baik sekarang maupun jaman
sebelum dilakukan “ Tax Reform “ dimana ketentuan-ketentuan itu sudah
di atur pada KUHP pada pasal
209,242,253,263,322,368,372,387,388,415,416,417,419,441,425 karena
sektorperpajakan ini diharap menyumbang finansial terbesar untuk APBN,
dalam realisasinya terjadi kebocoran-kebocoran oleh wajib pajak , aparat pajak
maupun pihak ke-3 untuk itu di tuangkan ketentuan pidananya di atur dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebenarnya di dalam pada UU No.
3 tahun 1971 yang diganti dengan UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun
2001. UU Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan merupakan specialist
dari KUHP maupun UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pula
tindak pidana di bidang perpajakan pada pasal 38,39,41,41A,41B.
Melihat
begitu banyaknya atauran – aturan tindak pidana yang berkaitan dengan
perpajakan ini diharapkan para pelaku tidak akan lolos terhadap tindakan yang
telah dilakukan , mengacu pada azas Lex Specialist Derogat Generalis
maka semua tindak pidana perpajakan itu seharusnya di jertat pula dengan
pasal-pasal perpajakan. Akan tetapi harapan itu tidak terlaksana mengingat SDM
kita khususnya hakim dan jaksa tidak memahami seluk beluk ketentuan
formil dan materiil yang terkait dengan system perpajakan. Dari beberapa kasus
perpajakan aparat penegak hukum khususnya jaksa dan hakim lebih
menyukai menggunakan pasal-pasal dalam UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi di banding Ketentauan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Tetapi permasalahannya vonis yang dijatuhkan pada terpidana itu apakah
sudah memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat mengingat sama sekali Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak diterapkan.
D. Saran
a. Perlunya aturan hukum yang jelas
mengenai Tindak Pidana di bidang perpajakan dan ketentuan itu dituangkan
secara jelas pada UU Perpajakan.
b. Perlunya peningkatan Sumber
Daya Manusia pada aparat penegak hukum sehingga vonis yang dijatuhkan
bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Waluyo, 1994, Tindak Pidana Perpajakan, Pradnya Paramita,Jakarta
Erly Suandy, 2002, Hukum Pajak, Salemba Empat
H.Rochmat Soemitro,1988, Pajak ditinjau
Dari Segi Hukum, Eresco,Bandung
__________________,1991, Pengantar Singkat Hukum
Pajak, Eresco, Bandung
Hadi Irawan , 2003,Pengantar Perpajakan,
Bayu Media, Malang
Muqodim,1996, Perpajakan Buku Satu , UII Press,
Yogyakarta _________,1999, Perpajakan Buku Dua , UII Press, Yogyakarta
R.Santoso Brotodiharjo,1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung
R.Soesilo,1990, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP ) ,Politea, Bogor
Sarwirini, “ Kejahatan di Bidang Perpajakan
“’ Jurnal Yustika Volume II No.1 Juli 1999, Surabaya
________, “ Perubahan sikap wajib pajak dan aparat
pajak dalam Konteks Perubahan Sistem Hukum Pajak di Indonesia”, Yuridika No.
3 Tahun III, Juni-Juli 1998, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar