Karya : M.Maulana KsW
Angin
malam sejuk membasuh tubuh dengan suara air sungai tenang dimalam yang dingin,
nampak ramai dibelakang orang berjualan, memancing, pengamen, muda-mudi bersama
temannya dan para keluarga sedang berwisata menikmati indahnya kota ini yang dahulu
merupakan pusat Kerajaan Maritim terbesar yang Aku tahu dari sejarah, tak
ketinggalan pengamen mengais rezeki. Aku duduk didinding beton merupakan
pembatas sungai tempat dimana orang-orang banyak memancing, lalu kutengokkan
leher kesebelah kiri dan menengadah keatas terasa sangat indah melihat sebuah
jembatan, sebuah jembatan memiliki
sejarah seusai perang kemerdekaan, disekelilingnya terlihat lampu-lampu kecil,
sungguh sangat memperindah serta ada dua tiang pancang yang berdiri
ditengahnya, ingin aku tegak disana dan memandanginya kehidupan yang ada
disungai ini.
Bosan juga Aku duduk disini dari tadi
hanya mendengar pengamen untuk berdendang dan perut ini nampak sudah menuntut
untuk diisi. Kulihat disekeliling mencari yang bisa dimakan, ada penjual
kemplang. Nampaknya tak mungkin kenyang walau makan satu bungkus kemplang itu.
Pandang jauh lagi penglihatan ini lalu aku lihat ada penjual mie jinjing dan
ada tulisan mie tektek.
“wah
sepertinya itu mantap.” Bisikku dalam hati.
Segera Aku turun dari beton pagar
pembatas sungai dan daratan itu, ketika Aku sudah turun lalu Aku lihat sebuah
perahu dengan sebuah atap nampak banyak orang didalamnya lagi menikmati sesuatu
kuliner, terasa jauh Aku ingin tempat mie tektek itu, diperahu itu saja Aku
makan. Terbentang kayu sebagai jembatan untuk masuk keperahu kuliner, segera
Aku lewati kayu yang terbentang antara darat dan perahu.
“Silahkan
duduk mas.” Jawab seorang yang tampak lebih muda dariku, merupakan pelayan
diperahu ini, “pesan apa mas?” tanyanya sambil mengelap meja.
“Disini
ada makanan apa?”
“Disini
Cuma ada tekwan, model mas, dan yang diatas meja itu pempek.”
“Ooohh..
Aku pesan model saja ya.”
Lalu pelayan itu masuk kedalam sebuah
dapur. Sambil menunggu pelayan itu menyiapkan yang Aku pesan tadi karena tak
tahan laparnya Aku sambar saja pempek yang ada didepan mata, kuambil cuka dalam
botol Aku tuang kedalam mangkok kecil, terasa sangat nikmatnya dengan dicelup
cuka yang hitam dan cukup pedas manis tak terasa dan tanpa disadari Aku sudah
makan empat buah pempek yang bermacam-bermacam dengan rasa ikan yang lezat.
Perutku sudah terasa kenyang, dan datanglah semangkuk model yang aku pesan
tadi.
“Silahkan
mas.” Dengan senyumnya pelayan itu berkata.
“Terimakasih.”
Kupandangi model itu nampaknya tidak akan habis Aku memakannya, lalu aku coba
hirup kuahnya, “tak sia-sia liburan aku ini” bisikku dalam hati.
Tak kusangka karena begitu lezatnya
kuliner ini mangkuk bersih hingga tak berkuah lagi, terasa sangat padat perut
ini lalu Aku minum air gelas mineral yang ada didepan mata. Sambil menikmati
ombak kecil sebuah sungai yang menggoyang perahu Aku ambil rokok disaku baju
lalu Aku ingin menghidupkannya coba rogoh saku celana dan baju nampaknya Aku
lupa membawa korek, tapi disebelah ada seorang bapak yang umurnya paruh baya
sambil bersantai dan menghisap rokoknya.
“Boleh
pinjam korek Pak?” tanyaku, sambil memperagakan sebuah korek gas.
“Ooh
ya, ini.” Sambil menyerahkan sekotak korek api.
Kuambil sebatang lalu Aku gesekan
dikotak korek lalu menghidupkan rokok, kemudian rebahkan kaki dibawah meja makan
.
“Ini
Pak koreknya, terimakasih.”
“Sama-sama.”
Diambilnya korek oleh Bapak itu.
Sambil menikmati santainya malam dan perut
juga sudah kenyang, lalu Aku membuka topik cerita dengan Bapak disebelah ini
dia terlihat asli penduduk disini bukan wisatawan sepertiku.
“Bagus
sekali jembatan itu.” Tanyaku sambil menoleh kepadanya.
“Ya
itulah jembatan kebanggaan masyarakat Kami, Ampera namanya, dalam artinya Amanat
Penderitaan Rakyat.” Jawab Bapak itu sambil menghembuskan asap rokoknya.
“Sudah
lama nampaknya jembatan itu ya Pak?”
“Wah
sudah lama sekali jembatan itu dibangun pada tahun enam puluhan, dan memakai
biaya kompensasi Jepang pada usai perang kemerdekaan dulu, dahulu jembatan ini
bisa mengangkat, dalam kedua tiang ditengahnya dan bisa lewat kapal besar
dibawahnya itu tapi sekarang tidak lagi entah oleh karena faktor apa,
lalulintas atau karena ulah orang yang tak bertanggung jawab.“
“Orang
yang tak bertanggung jawab? maksudnya!” ucapku dengan penasaran.
“Ya
besi-besi jembatan itu suka dicuri oleh orang yang bertanggung jawab itu dan
seringkali juga bawah kaki pondasi jembatan itu ditabrak kapal besar seperti
kapal minyak tanker, menurut kabar ada yang mengatakan kalau kakinya itu
bergeser kalau selalu begitu dan tak ada perhatian nanti pasti roboh dan akan
lebih sulit lagi.” Jawab bapak itu. “Adik ini dari mana?, nampaknya bukan orang
sini ya?” .
“Benar
Pak, Saya sedang liburan kesini, saya ini dari jakarta.”
.”Oohh...”
jawab Bapak itu sambil tersenyum.”
Lalu aku hisap rokokku dalam-dalam dan Aku
kepulkan asapnya, dan ada seorang wanita dideretan bangku didepanku menutup hidung
sambil batuk.
“Duhh,
Aku sudah mengganggu orang disini,” gumamku dalam hati, segera kumatikan rokok.
Aku panggil pelayan itu,“ berapa semuanya ini dik?”
“Apa saja mas?”
“Pempek
empat model satu dan air gelas mineralnya satu.”
“Dua
belas ribu Rupiah mas.”
Langsung
kubayar “ambil saja kembaliannya ya dik.”
“Wah
terima kasih mas.”
“Sama-sama
dik,” ucapku sambil berdiri dari bangku dan pamit dengan Bapak yang ada
disebelah.
“Terima
kasih pak, Saya duluan.”
“Ya
hati-hati” jawab Bapak itu.
Segera Aku tinggalkan perahu itu dengan
sedikit takut Aku melintas jembatan kecil penghubung perahu itu dan sampailah didarat
lagi, sambil berjalan menikmati malam dan ditempat yang ramai banyak
macam-macam jualan, aksesoris, mainan anak-anak, dan disebuah sebarang sana ada
tembok besar berdiri seperti benteng pantas saja tempat ini namanya Benteng
Kuto Besak, dan banyak perempuan cantik bersama teman-temannya berkumpul bersama
sambil duduk dipelataran, coba Aku bersama teman-temanku mungkin sudah aku ajak
kenalan mereka, hah! aku memang penakut. Tersenyum sendiri Aku ditengah
keramaian itu. Tak diduga dibalik sejuknya angin ternyata turun hujan deras mendadak, segera Aku
berlari menuju motorku yang diparkirkan, Aku buka kunci pengaman rodanya dan
aku bayar parkir seribu rupiah langsung aku tinggalkan Benteng Kuto Besak
mencari tempat perlindungan dari hujan kupercepat gas motor, dan Aku temukan
tempat berteduh dibawah jembatan Ampera, sambil menunggu hujan redah, untuk
menghilangkan dinginnya malam serta mulutku yang mulai tak enak lalu Aku ambil
kotak rokok disaku, Aku ambil sebatang rokok dan Aku lihat kiri kanan ada
sebuah warung dibawah jembatan, lalu dekati warung itu untuk membeli korek api.
“Ada koreknya Pak?” tanyaku kepada yang punya
warung itu.
“Itu
didepan.” Sambil dia menunjukan sebuah korek gas yang terikat tali.
“Bukan
Pak yang dijual maksud saya.”Lalu dia mengambil korek gas disebuah kotak besar.
“Ini Dik.” Sambil memberikan sebuah korek api
gas.
“Berapa
Pak?”
“Dua
ribu.“ Ucap Bapak itu, dan langsung kubayar.
“Terima
kasih Pak.” Lalu Aku meninggalkan warung itu dan menuju tempat motorku tadi dan
aku hidupkan rokok yang sudah lama aku taruh disela daun telinga segera pindah
kemulut.
Sambil duduk Aku menikmati asap rokokku
tiba-tiba ada getaran kecil seperti gempa, banyak orang berlarian menuju
Benteng Kuto Besak tempat dimana tempat Aku duduk tadi tak mau ketinggalan,
kumatikan api rokok, Aku pun menghidupkan motor kugas sampai ditempat parkir, lalu
Aku parkirkan motor dan berlari ketempat Aku duduk melihat jembatan tadi
ditengah gerimisnya hujan aku terobos keramaian, Aku telah didepan keramaian
itu, terlihat sebuah kapal minyak yang besar menabrak kaki jembatan yang nampak
retak, banyak kapal-kapal lain yang
mendekati kapal tanker minyak itu untuk memberikan pertolongan dan menarik agar
kapal tanker itu tidak terus mendorong kaki jembatan itu karena arus sungai,
segera kuambil kamera ditas langsung Aku photo kejadian itu dan disekelilingku
banyak juga orang yang mengabadikan peristiwa itu.
Seusai
mengabadikan peristiwa itu Aku pun langsung mundur kebelakang keramaian mencari
penjual minuman, tenggorokan ini sudah tidak bisa diajak kompromi berlari dari
parkir kepelataran tadi saja aku sudah haus. Ada seorang Ibu penjual minuman
langsung saja Aku dekati.
“Bu,
minumannya ini satu ya, berapa harganya?” sambil Aku mengambil air minum botol
mineral.
“Lima ribu rupiah dik,” jawab Ibu itu.
Langsung
saja Aku beri uang pas dan kembali lagi keparkiran motorku, lalu duduk dipipa
panjang tempat pagar parkiran motor sambil beristirahat sebentar, hujan juga
sudah berhenti. Segera Aku buka botol minuman tadi seteguk panjang aku minum
air itu karena sangat hausnya. Kulihat dari kejauhan kapal tanker yang menabrak
kaki jembatan tadi sudah mulai berjalan lagi menuju dermaga, dengan diiringi
kapal petugas, dalam pikiran Aku merenungkan andai peristiwa itu selalu terjadi
mungkin saja kata Bapak yang ada diperahu tadi jembatan Ampera akan roboh, belum
lagi ada tangan-tangan yang tak bertanggung jawab yang mencuri besi-besi baut
yang sangat penting sebagai pengaman jembatan itu, kalau seandainya jembatan
itu roboh maka tak ada lagi kebanggaan masyarakat Kota Palembang ini, jembatan
ini merupakan simbol kebanggaan masyarakat Palembang, penarik wisatawan, dan
sebagai sejarah seusai kemerdekaan.
Ingin sekali rasanya Aku berphoto diatas
jembatan itu, tanpa pikir panjang segera Aku hidupkan motor dan Aku menuju
jembatan itu tak sampai sepuluh menit sudah diatas jembatan Ampera, jembatan
kebanggaan masyarakat Palembang, Aku naikkan motor diatas pinggir trotoar
jembatan, lalu turun dari motor dan melihat sungai dari atas jembatan banyak
orang juga yang bersantai dan berkumpul dijembatan ini, wajar saja memang jembatan
ini sangat indah, segera Aku ambil kamera ditas lalu minta tolong kepada orang
yang tak jauh dariku untuk minta ambilkan photo aku dengan latar tiang jembatan
yang khas dan tinggi serta dihiasi lampu yang indah .
“Sebelum Ampera roboh.” Gumamku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar