Senin, 05 Agustus 2013

Tragedi ombak, enam belas tahun, enam bulan, enam tahun


Tragedi ombak, enam belas tahun, enam bulan, enam tahun
 
Karya : M. Maulana Ksw
      Ombak laut terasa sangat tak bersahabat dengan kerasnya menghantam sebuah kapal pencari ikan bermuatan belasan penumpang para nelayan yang ingin mengambil ikan, dengan diiringi hujan badai kapal terus melewati ombang yang besar. Tampak sibuk Anak buah kapal membuang air yang masuk kedalam kapal menggunakan ember kayu besar sambil dikomando seorang kapten kapal sedang memainkan kendali kapal. Guntur menggelegar, langit seakan terbelah melihat kilatan cahaya diatas langit, sungguh hal yang membuat belasan penumpang ketakutan karena situasi yang sangat mencekam. Sebuah kapal kayu kecil yang digunakan untuk menyebrang antarpulau serta mencari ikan memang sudah sangat rapuh, kapal tua yang sudah lama menemani sang kapten yang juga sudah tua itu kini harus berhadapan dengan ombak yang benar-benar sungguh dahsyat, sang kapten berusaha untuk menyelamatkan kapal agar tak karam dan memegang peran atas belasan nyawa dalam kapal tuanya. Dengan tangan tuanya yang keriput sang kapten, dia memutar-mutar kendali kapal untuk menyeimbangkan kapalnya ditengah ombak yang menerjang seperti hantaman batu besar yang membuat oleng kapal, sang kapten yang sudah puluhan tahun mengaurungi ombak, nampak hari itulah waktu kapalnya berakhir, kapal tua bocor karena dihantam ombak yang begitu keras, semua penumpang panik.
 “Bagaimana ini kapten!?” teriak  anak buah sang kapten.
“Kau selamatkanlah diri dan para penumpang.”
“Kapten bagaimana?”
“Aku akan tetap didalam kapal ini.”Ucap sang kapten sambil tersenyum. “Cepatlah kau selamatkan mereka!”
        Segera anak buah kapal itu berlari menyuruh para penumpang untuk melompat kelautan dengan membawa pelampung kayu untuk menyelamatkan diri. Satu demi satu penumpang telah melompat kelaut, hingga tersisa anak buahnya dan Sang Kapten.
“Kapten! apa kau tidak ikut menyelamatkan diri?”
“Aku akan selalu ikut bersama kapal ini.” Sambil berlari lalu mendorong anak buahnya kelautan.
       Kapal tua itu pun detik demi detik mulai karam nampak akan hilang dalam lautan yang ombaknya mulai reda, kapal hilang bersama sang kapten.
       Belasan penumpang dan anak buah kapten kapal terombang-ambing dilautan luas, berharap ada pulau. Sekian jam para korban dilautan, nasib baik sang anak buah terdampar dipesisir dimana kampung halaman kapten dan anak buahnya tinggal serta. Memang perjalanan untuk mengambil ikan waktu itu belum terlalu jauh dari kampung nelayan yang dikenal Pulau Baholi. Terdampar sebelas penumpang serta dengan anak buah sang kapten, sementara kapten dan tiga penumpang lainnya hilang. Dibawalah oleh warga yang menemukan sebelas penumpang yang pingsan dipinggir pantai dengan dihantam ombak-ombak kecil, dibawa kebalai desa ditempat ketua adat, disana mereka diobati dukun, satu persatu penumpang yang selamat dikeluarkan air dari dalam perutnya, seketika muntah dan mereka sadar termasuk anak buah tadi.
      Tak jauh dari pinggir pantai dan balai desa didalam rumah kayu, rumah cukup tua, dindingnya mulai berlumut  terlihat dari papan yang diambil dari kayu jati dari luar pulau itu. Ada seorang wanita yang agak paruh baya sedang menggendong anaknya, bayi yang baru dilahirkannya enam bulan lalu, menangis melolong keras, dan tidak mau disusui. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang sangat kuat.
“Cik Samira! Cik Samira!” teriak seorang wanita muda warga desa, dengan napas terengah-engah.
       Langsung saja Samira mendekati pintu, sambil kesusahan mendiamkan anaknya. Tanpa melihat dari jendela lagi langsung saja Samira membuka pintu wanita itu.
“Ada apa Miana?” sambil menatap mata wanita itu dan alisnya tertarik keatas.”Kenapa kau teriak-teriak?”
“Dibalai desa,” sambil menujuk arah balai desa. “Sebaiknya cik Samira kesana, ada Bang Joan anak buah Pak cik Kadri, dan para penumpang lain, mereka pingsan dan ditemukan dipinggir pantai terkapar.”
       Terkejut sekali Samira, anaknya yang dari tadi menangis dipeluknya kuat, seolah tak mampu lagi untuk bertanya keberadaan suaminya. Suaminya yang merupakan tulang punggung kehidupan bahtera keluarganya. Langsung larilah Samira bersama Miana menuju balai desa sambil menggendong anaknya yang dari tadi terus menangis dan tambah keras tangisannya dibawa berlari oleh ibunya.
“Apa kau lihat Pak cik Kadri, Miana?” seraya bibirnya gemetar, sambil jalan cepat.
“Aku tak melihatnya, Aku Cuma melihat Bang Joan yang  digotong oleh warga.”
        Meneteslah air mata Samira, kalut pikirannya, dipercepat langkah kaki. Tibalah dibalai desa, ramai sekali para warga melihat para korban ada terisak tangis mendengar keluarganya yang hilang. Diperhatikannya satu persatu para penumpang yang selamat itu, jelas tak ada suaminya. Sambil melihat Joan yang matanya sayup, karena banyak tertelan air laut.
“Dimana bang Kadri joan?” sambil menjelit matanya.
“Dia tak mau turun dari kapal itu.” Langsung menunduk kepala Joan.
        Terduduk dilantai, begitu lemas kaki Samira, segera diambil dan digendong miana, Kadam anak Samira. Meraung-raung menangisi kehilangan yang pasti kepergian suaminya. Setelah diberi kebahagian yang indah berupa anak, ia ditinggalkan suaminya yang telah menemani selama 16 tahun. Selama 16 tahun itulah ia menunggu adanya janin, dan janin telah lahir 6 bulan yang lalu. Seperti ditukar antara suami dan anaknya dalam hati Samira berkecamuk. Dengan ditenangkan warga dan diajak pulang oleh miana, selama dirumah Samira hanya melamun, dalam pikirannya ini sudah takdirnya dan harus dijalani dengan ikhlas dan harus berusaha untuk membesarkan Kadam buah cintanya bersama Kadri. Memang sulit itu baginya tapi keputusan Tuhan sudah menetapkan dia tak mampu untuk menolaknya.
        Hari-harinya dilalui tanpa Kadri dengan tegar dia kerja keras untuk menghidupi dirinya dan kadam, dia bekerja ditempat penimbangan ikan, dimana ikan-ikan hasil melaut para nelayan ditimbang lalu dikumpulkan dalam bak air plastik berisi es, dan ikan yang mati, setelah dalam bak ikan terisi dua puluh kilogram dibawa atau didorongnya bak tak beroda itu menuju mobil truk pengangkut ikan yang akan membawa ikan itu kekota. Sementara Kadam dititipkan dirumah Miana. Miana tinggal bersama suaminya Mardan yang juga merupakan nelayan dipulau Baholi, mereka memiliki anak bernama sandor yang sebaya dengan Kadam.
***
        Enam tahun telah berlalu, dipinggir pantai pulau Baholi anak-anak pantai bermain perahu-perahu kayu kecil buatan mereka sendiri sambil berenang dan meloncat kelaut mencari tempat yang tinggi lalu meloncat nampak badan mereka hitam dan rambut menguning karena tak peduli mereka dengan terik matahari panasnya matahari dijadikan semangatnya air laut yang lekat karena asinnya mereka tak rasakan karena sudah terbiasa.
        Dirumah Samira, ada kadam yang duduk dijendela sambil melihat dari rumahnya yang jauh dari pinggir pantai, dia melihat bahagianya anak-anak yang bermain. Sementara Kadam dikurung Emaknya yang bekerja ditempat penimbangan ikan. Kadang dia dikurung bersama Sandor kalau Miana ikut Samira bekerja, tapi Miana dilarang Mardan untuk bekerja. Kadam yang sudah berumur enam tahun dianggap sudah besar oleh Emaknya tak perlu lagi dititipkan di Miana, walaupun Miana memaksa Samira tetap tak mau dia mau kadam jadi mandiri. Kadam tak disuruhnya keluar rumah karena Samira sangat sayang kepada kadam, ia takut terjadi apa-apa dan kehilangan orang satu-satunya yang dia memiliki. Tiap malam akan tidur Kadam selalu bertanya tentang Bapaknya kepada Emaknyanya, Samira berpikir belum saatnya ia menceritakan keadaan yang sesungguhnya dia Cuma bilang kalau Kadri pergi ketempat yang indah dan menyiapkan tempat yang indah juga untuk kadam dan Emaknya.
         Kadam selalu bertanya sosok Bapaknya seperti apa pada Samira, Samira menjawabnya dengan penuh kesedihan bahwa Bapaknya adalah sosok pemberani yang tak takut ombak, semangat sekali Kadam mendengar cerita tentang Bapaknya dan ombak, rasanya ia ingin keluar dari rumah dan bermain bersama temannya dipinggir pantai itu dan juga ikut melawan ombak. Kadam juga ingin naik pohon kelapa ingin melihat apa yang ada ditengah pantai. Setiap akan tidur kadam selalu diceritakan tentang ayahnya sampai dia menjelang tidur. Setelah kadam tidur, samira mencium kening kecilnya dan memakaikan selimut dikasur papan yang halus itu.
***
        Pagi menjelang, matahari terlihat keluar, dipagi yang dingin terasa sekali daun-daun pohon kelapa melambai diterpa angin badai yang cukup kencang, pagi itu Samira sudah menyiapkan sarapan untuk Kadam, nanti kalau Kadam sudah bangun langsung memakan kue buatan emaknya. Samira langsung pergi ketempat bekerjanya, dikuncinya pintu agar Kadam tak bermain diluar. Tak lama setelah Samira peergi meninggalkan rumah Kadam bangun.
        “Emak..Emak”. Sambil matanya masih setengah menutup karena masih mengantuk Kadam memanggil emaknya, tapi emaknya telah pergi bekerja. Segera Kadam kekamar mandi untuk cuci muka, dan langsung kedapur melahap kue buatan maknya, sambil duduk didekat jendela dapur Kadam melihat para nelayan yang sibuk mencari ikan, mungkin begitu pekerjaan Bapaknya dulu, pikir Kadam. Telah habis tiga kue dilahapnya, Kadam ingin mandi, tapi ada yang aneh dijendela dapurnya, biasanya ada yang tergembok dijendela itu tapi sekarang nampaknya gembok kunci itu tak ada, bahagia sekali Kadam melihat hal itu, Ia segera mengambil handuk dan langsung mandi, seusai mandi dan memakai baju, dorongnya jendela itu lantas terbuka langsung saja dia melompat keluar rumahnya lewat jendela itu, Ia merasa bebas sekarang, bebas bermain dan melawan ombak, segera Kadam berlari kebibir pantai sambil menikmati deburan ombak, dia tak peduli walaupun tidak ada anak yag bermain pagi itu, karena mereka dikurung semua sama orang tuanya melihat cuaca yang memberi pertanda ombak sedang ganas.
          Dengan riang Kadam bermain dipinggir pantai sambil tidur lalu dihantam ombak kecil badannya, tidak dihiraukannya teriakan seorang nelayan yang menyuruhnya untuk menjauh dari bibir pantai itu. Kadam tidak terasa kalau badannya sudah hampir jauh dari bibir pantai karena didiseret sedikit demi sedikit oleh ombak yang kecil. Tiba-Tiba datang ombak besar yang ganas, fenomena alam yang sudah ditakdirkan itu menyeret badan kecil Kadam kedalam tengah lautan, Kadam yang tak bisa berenang hanya pasrah sambil berontak karena nafasnya detik demi detik terasa sesak ingin melepas nyawanya. Hilanglah Kadam ditengah lautan dan diambil Tuhan.
       Samira yang menyadari lupa mengunci jendela sudah ada depan rumahnya dan dia memanggil-manggil Kadam, tetapi tidak didapatinya Kadam dalam rumahnya, dengan sangat khawatir dia melihat ramai sekali dipinggir pantai kumpulan para nelayan, lalu Samira mendekati kerumunan itu, dan bertanya pada salah satu orang pelayan. Pelayan dari pulau lain itu menjelaskannya bahwa dia melihat anak kecil yang bermain dipinggir pantai dan nelayan itu sudah berteriak menyuruhnya minggir tapi anak itu masih saja asyik bermain, ketika nelayan itu ingin mendekati anak itu datang ombak yang besar sehingga terseretlah anak itu ketengah pantai.
        Pingsanlah Samira, kedua kakinya melemas diingatkannya tragedi, setelah 16 tahun dia ditemani kardi, dan diberi janin yang pada waktu umur 6 bulan janin dan samira ditinggalkan kadri, sekarang Kadam yang telah berumur enam tahun ikut juga meninggalkan dirinya. Seperti apa yang diceritakan Samira bahwa Bapaknya akan membawa Kadam dan emaknya ketempat yang indah. Ketika Samira sadar dilihatnya semua orang yang ada disekitarnya semuanya adalah Kadri dan Kadam dipenglihatannya, Samira yang tak kuat iman jiwanya pun terganggu atas tragedi enam belas tahun, enam bulan, enam tahun(16,06,06) tersebut, yang mempunyai kepedihan tersendiri bagi Samira.

Tidak ada komentar: