Karya : M. Maulana Ksw
Ombak laut terasa sangat tak bersahabat
dengan kerasnya menghantam sebuah kapal pencari ikan bermuatan belasan
penumpang para nelayan yang ingin mengambil ikan, dengan diiringi hujan badai kapal
terus melewati ombang yang besar. Tampak sibuk Anak buah kapal membuang air
yang masuk kedalam kapal menggunakan ember kayu besar sambil dikomando seorang
kapten kapal sedang memainkan kendali kapal. Guntur menggelegar, langit seakan
terbelah melihat kilatan cahaya diatas langit, sungguh hal yang membuat belasan
penumpang ketakutan karena situasi yang sangat mencekam. Sebuah kapal kayu
kecil yang digunakan untuk menyebrang antarpulau serta mencari ikan memang
sudah sangat rapuh, kapal tua yang sudah lama menemani sang kapten yang juga
sudah tua itu kini harus berhadapan dengan ombak yang benar-benar sungguh
dahsyat, sang kapten berusaha untuk menyelamatkan kapal agar tak karam dan
memegang peran atas belasan nyawa dalam kapal tuanya. Dengan tangan tuanya yang
keriput sang kapten, dia memutar-mutar kendali kapal untuk menyeimbangkan
kapalnya ditengah ombak yang menerjang seperti hantaman batu besar yang membuat
oleng kapal, sang kapten yang sudah puluhan tahun mengaurungi ombak, nampak
hari itulah waktu kapalnya berakhir, kapal tua bocor karena dihantam ombak yang
begitu keras, semua penumpang panik.
“Bagaimana ini kapten!?” teriak anak buah sang kapten.
“Kau
selamatkanlah diri dan para penumpang.”
“Kapten
bagaimana?”
“Aku akan tetap
didalam kapal ini.”Ucap sang kapten sambil tersenyum. “Cepatlah kau selamatkan
mereka!”
Segera anak buah kapal itu berlari
menyuruh para penumpang untuk melompat kelautan dengan membawa pelampung kayu
untuk menyelamatkan diri. Satu demi satu penumpang telah melompat kelaut,
hingga tersisa anak buahnya dan Sang Kapten.
“Kapten! apa kau
tidak ikut menyelamatkan diri?”
“Aku akan selalu
ikut bersama kapal ini.” Sambil berlari lalu mendorong anak buahnya kelautan.
Kapal tua itu pun detik demi detik mulai
karam nampak akan hilang dalam lautan yang ombaknya mulai reda, kapal hilang
bersama sang kapten.
Belasan penumpang dan anak buah kapten
kapal terombang-ambing dilautan luas, berharap ada pulau. Sekian jam para
korban dilautan, nasib baik sang anak buah terdampar dipesisir dimana kampung
halaman kapten dan anak buahnya tinggal serta. Memang perjalanan untuk
mengambil ikan waktu itu belum terlalu jauh dari kampung nelayan yang dikenal Pulau
Baholi. Terdampar sebelas penumpang serta dengan anak buah sang kapten,
sementara kapten dan tiga penumpang lainnya hilang. Dibawalah oleh warga yang
menemukan sebelas penumpang yang pingsan dipinggir pantai dengan dihantam
ombak-ombak kecil, dibawa kebalai desa ditempat ketua adat, disana mereka
diobati dukun, satu persatu penumpang yang selamat dikeluarkan air dari dalam
perutnya, seketika muntah dan mereka sadar termasuk anak buah tadi.
Tak jauh dari pinggir pantai dan balai
desa didalam rumah kayu, rumah cukup tua, dindingnya mulai berlumut terlihat dari papan yang diambil dari kayu
jati dari luar pulau itu. Ada seorang wanita yang agak paruh baya sedang
menggendong anaknya, bayi yang baru dilahirkannya enam bulan lalu, menangis
melolong keras, dan tidak mau disusui. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang
sangat kuat.
“Cik Samira! Cik
Samira!” teriak seorang wanita muda warga desa, dengan napas terengah-engah.
Langsung saja Samira mendekati pintu,
sambil kesusahan mendiamkan anaknya. Tanpa melihat dari jendela lagi langsung
saja Samira membuka pintu wanita itu.
“Ada apa Miana?”
sambil menatap mata wanita itu dan alisnya tertarik keatas.”Kenapa kau
teriak-teriak?”
“Dibalai desa,”
sambil menujuk arah balai desa. “Sebaiknya cik Samira kesana, ada Bang Joan
anak buah Pak cik Kadri, dan para penumpang lain, mereka pingsan dan ditemukan
dipinggir pantai terkapar.”
Terkejut sekali Samira, anaknya yang
dari tadi menangis dipeluknya kuat, seolah tak mampu lagi untuk bertanya
keberadaan suaminya. Suaminya yang merupakan tulang punggung kehidupan bahtera
keluarganya. Langsung larilah Samira bersama Miana menuju balai desa sambil
menggendong anaknya yang dari tadi terus menangis dan tambah keras tangisannya
dibawa berlari oleh ibunya.
“Apa kau lihat
Pak cik Kadri, Miana?” seraya bibirnya gemetar, sambil jalan cepat.
“Aku tak
melihatnya, Aku Cuma melihat Bang Joan yang
digotong oleh warga.”
Meneteslah air mata Samira, kalut
pikirannya, dipercepat langkah kaki. Tibalah dibalai desa, ramai sekali para
warga melihat para korban ada terisak tangis mendengar keluarganya yang hilang.
Diperhatikannya satu persatu para penumpang yang selamat itu, jelas tak ada
suaminya. Sambil melihat Joan yang matanya sayup, karena banyak tertelan air
laut.
“Dimana bang
Kadri joan?” sambil menjelit matanya.
“Dia tak mau
turun dari kapal itu.” Langsung menunduk kepala Joan.
Terduduk dilantai, begitu lemas kaki
Samira, segera diambil dan digendong miana, Kadam anak Samira. Meraung-raung
menangisi kehilangan yang pasti kepergian suaminya. Setelah diberi kebahagian
yang indah berupa anak, ia ditinggalkan suaminya yang telah menemani selama 16
tahun. Selama 16 tahun itulah ia menunggu adanya janin, dan janin telah lahir 6
bulan yang lalu. Seperti ditukar antara suami dan anaknya dalam hati Samira
berkecamuk. Dengan ditenangkan warga dan diajak pulang oleh miana, selama
dirumah Samira hanya melamun, dalam pikirannya ini sudah takdirnya dan harus
dijalani dengan ikhlas dan harus berusaha untuk membesarkan Kadam buah cintanya
bersama Kadri. Memang sulit itu baginya tapi keputusan Tuhan sudah menetapkan
dia tak mampu untuk menolaknya.
Hari-harinya dilalui tanpa Kadri dengan
tegar dia kerja keras untuk menghidupi dirinya dan kadam, dia bekerja ditempat
penimbangan ikan, dimana ikan-ikan hasil melaut para nelayan ditimbang lalu
dikumpulkan dalam bak air plastik berisi es, dan ikan yang mati, setelah dalam
bak ikan terisi dua puluh kilogram dibawa atau didorongnya bak tak beroda itu
menuju mobil truk pengangkut ikan yang akan membawa ikan itu kekota. Sementara
Kadam dititipkan dirumah Miana. Miana tinggal bersama suaminya Mardan yang juga
merupakan nelayan dipulau Baholi, mereka memiliki anak bernama sandor yang
sebaya dengan Kadam.
***
Enam tahun telah berlalu, dipinggir
pantai pulau Baholi anak-anak pantai bermain perahu-perahu kayu kecil buatan
mereka sendiri sambil berenang dan meloncat kelaut mencari tempat yang tinggi
lalu meloncat nampak badan mereka hitam dan rambut menguning karena tak peduli
mereka dengan terik matahari panasnya matahari dijadikan semangatnya air laut
yang lekat karena asinnya mereka tak rasakan karena sudah terbiasa.
Dirumah Samira, ada kadam yang duduk
dijendela sambil melihat dari rumahnya yang jauh dari pinggir pantai, dia
melihat bahagianya anak-anak yang bermain. Sementara Kadam dikurung Emaknya
yang bekerja ditempat penimbangan ikan. Kadang dia dikurung bersama Sandor
kalau Miana ikut Samira bekerja, tapi Miana dilarang Mardan untuk bekerja.
Kadam yang sudah berumur enam tahun dianggap sudah besar oleh Emaknya tak perlu
lagi dititipkan di Miana, walaupun Miana memaksa Samira tetap tak mau dia mau
kadam jadi mandiri. Kadam tak disuruhnya keluar rumah karena Samira sangat
sayang kepada kadam, ia takut terjadi apa-apa dan kehilangan orang satu-satunya
yang dia memiliki. Tiap malam akan tidur Kadam selalu bertanya tentang Bapaknya
kepada Emaknyanya, Samira berpikir belum saatnya ia menceritakan keadaan yang
sesungguhnya dia Cuma bilang kalau Kadri pergi ketempat yang indah dan
menyiapkan tempat yang indah juga untuk kadam dan Emaknya.
Kadam selalu bertanya sosok Bapaknya
seperti apa pada Samira, Samira menjawabnya dengan penuh kesedihan bahwa
Bapaknya adalah sosok pemberani yang tak takut ombak, semangat sekali Kadam
mendengar cerita tentang Bapaknya dan ombak, rasanya ia ingin keluar dari rumah
dan bermain bersama temannya dipinggir pantai itu dan juga ikut melawan ombak.
Kadam juga ingin naik pohon kelapa ingin melihat apa yang ada ditengah pantai.
Setiap akan tidur kadam selalu diceritakan tentang ayahnya sampai dia menjelang
tidur. Setelah kadam tidur, samira mencium kening kecilnya dan memakaikan
selimut dikasur papan yang halus itu.
***
Pagi
menjelang, matahari terlihat keluar, dipagi yang dingin terasa sekali daun-daun
pohon kelapa melambai diterpa angin badai yang cukup kencang, pagi itu Samira
sudah menyiapkan sarapan untuk Kadam, nanti kalau Kadam sudah bangun langsung
memakan kue buatan emaknya. Samira langsung pergi ketempat bekerjanya,
dikuncinya pintu agar Kadam tak bermain diluar. Tak lama setelah Samira peergi
meninggalkan rumah Kadam bangun.
“Emak..Emak”. Sambil matanya masih
setengah menutup karena masih mengantuk Kadam memanggil emaknya, tapi emaknya
telah pergi bekerja. Segera Kadam kekamar mandi untuk cuci muka, dan langsung
kedapur melahap kue buatan maknya, sambil duduk didekat jendela dapur Kadam
melihat para nelayan yang sibuk mencari ikan, mungkin begitu pekerjaan Bapaknya
dulu, pikir Kadam. Telah habis tiga kue dilahapnya, Kadam ingin mandi, tapi ada
yang aneh dijendela dapurnya, biasanya ada yang tergembok dijendela itu tapi
sekarang nampaknya gembok kunci itu tak ada, bahagia sekali Kadam melihat hal
itu, Ia segera mengambil handuk dan langsung mandi, seusai mandi dan memakai
baju, dorongnya jendela itu lantas terbuka langsung saja dia melompat keluar
rumahnya lewat jendela itu, Ia merasa bebas sekarang, bebas bermain dan melawan
ombak, segera Kadam berlari kebibir pantai sambil menikmati deburan ombak, dia
tak peduli walaupun tidak ada anak yag bermain pagi itu, karena mereka dikurung
semua sama orang tuanya melihat cuaca yang memberi pertanda ombak sedang ganas.
Dengan riang Kadam bermain dipinggir
pantai sambil tidur lalu dihantam ombak kecil badannya, tidak dihiraukannya
teriakan seorang nelayan yang menyuruhnya untuk menjauh dari bibir pantai itu.
Kadam tidak terasa kalau badannya sudah hampir jauh dari bibir pantai karena
didiseret sedikit demi sedikit oleh ombak yang kecil. Tiba-Tiba datang ombak
besar yang ganas, fenomena alam yang sudah ditakdirkan itu menyeret badan kecil
Kadam kedalam tengah lautan, Kadam yang tak bisa berenang hanya pasrah sambil
berontak karena nafasnya detik demi detik terasa sesak ingin melepas nyawanya.
Hilanglah Kadam ditengah lautan dan diambil Tuhan.
Samira yang menyadari lupa mengunci jendela
sudah ada depan rumahnya dan dia memanggil-manggil Kadam, tetapi tidak didapatinya
Kadam dalam rumahnya, dengan sangat khawatir dia melihat ramai sekali dipinggir
pantai kumpulan para nelayan, lalu Samira mendekati kerumunan itu, dan bertanya
pada salah satu orang pelayan. Pelayan dari pulau lain itu menjelaskannya bahwa
dia melihat anak kecil yang bermain dipinggir pantai dan nelayan itu sudah
berteriak menyuruhnya minggir tapi anak itu masih saja asyik bermain, ketika
nelayan itu ingin mendekati anak itu datang ombak yang besar sehingga
terseretlah anak itu ketengah pantai.
Pingsanlah Samira, kedua kakinya
melemas diingatkannya tragedi, setelah 16 tahun dia ditemani kardi, dan diberi
janin yang pada waktu umur 6 bulan janin dan samira ditinggalkan kadri,
sekarang Kadam yang telah berumur enam tahun ikut juga meninggalkan dirinya.
Seperti apa yang diceritakan Samira bahwa Bapaknya akan membawa Kadam dan
emaknya ketempat yang indah. Ketika Samira sadar dilihatnya semua orang yang
ada disekitarnya semuanya adalah Kadri dan Kadam dipenglihatannya, Samira yang
tak kuat iman jiwanya pun terganggu atas tragedi enam belas tahun, enam bulan,
enam tahun(16,06,06) tersebut, yang mempunyai kepedihan tersendiri bagi Samira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar